Menu

Mode Gelap

Ekonomi Syari'ah

Sejarah Uang dalam Islam


 Sejarah Uang dalam Islam Perbesar

Sejarah Uang dalam Islam

Finaninsia – Apabila yang dibicarakan adalah sejarah perkembangannya dalam periode pemerintahan Islam, maka ulasan tentang uang dalam sistem pemerintahan Islam agak panjang dan terperinci, karena itu penulis mencoba menyimpulkan dalam poin-poin berikut:

1.  Uang pada Masa kenabian

Bangsa Arab di Hijaz pada masa jahiliyah tidak memiliki mata uang tersendiri. Mereka menggunakan mata uang yang mereka peroleh berupa dinar emas Hercules, Byzantium dan dirham perak dinasti Sasanid dari Iraq, dan sebagian mata uang bangsa Himyar, Yaman.

Merupakan tradisi kabilah Quraish melakukan perjalanan dagang dua kali setahun; pada musim panas ke negeri Syam dan pada musim dingin ke negeri Yaman.12 Sebagaimana yang dikisahkan dalam al-Qur’an surah al-Quraisy ayat 1-4 yang artinya:

”(1) Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (2) (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. (3) Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). (4) Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.

Tetapi orang Arab ketika itu tidak menggunakan dinar dan dirham tersebut pada nominalnya, melainkan menurut berat timbangannya. Sebab mata uang yang ada (dinar dan dirham) hanya dianggap sebagai kepingan emas dan perak. Mereka tidak menganggapnya sebagai mata uang yang dicetak, mengingat bentuk dn timbangannya yang tidak sama dan karena kemungkinan terjadinya penyusutan berat akibat peredarannya. Karena itu, mereka lebih suka menggunakannya berdasarkan standar timbangan tertentu yang telah mereka miliki yaitu auqiyah, nasy, nuah, mitsqal, dirham, daniq, qirath dan habbah.

Setelah Islam datang, Rasulullah mengakui berbagai transaksi yang menggunakan dinar Romawi dan dirham Persia.. Jadi pada mulanya mata uang yang dipakai bukan berasal dari kawasan dunia Islam, sebab ketika kaum muslim baru melebarkan sayapnya mereka belum lagi mengenal industri mata uang. Sehingga tidak aneh bila mata uang yang dipakai dunia Islam ada yang bergambar pedang salib, ada pula bergambar rumah persembahyangan api, dan sebagainya.

Peranan Nabi dalam masalah keuangan yaitu menentukan ukuran timbangannya. Hanya saja Rasulullah tidak mengubah mata uang karena kesibukannya memperkuat tiang-tiang agama Islam di jazirah Arab. Karena itu sepanjang masa kenabian, kaum Muslim terus menggunakan mata uang asing dalam interaksi ekonomi mereka.

2.  Uang pada masa Khulafaurrasyidin

Ketika Abu Bakar di bai’at menjadi Khalifah, beliau tidak melakukan perubahan terhadap mata uang yang beredar. Bahkan menetapkan apa yang sudah berjalan sejak masa Nabi saw., yaitu penggunaan mata uang Dinar Hercules dn Dirham Persia. Beliau sendiri sibuk memerangi kemurtadan.

Pada masa khalifah Umar bin Khattab, pada sekitar tahun 18/20H, dicetak dirham Islam. Namun masih mengikuti model cetakan Sasanid berukiran Kisra dengan beberapa tambahan kalimat tauhid dalam jenis tulisan Kufi, seperti bismillah, alhamdulillah, dan pada sebagian lagi kalimat muhammad rasulullah. Jika sebelumnya ukuran (nilai) uang hanya dalam ingatan, maka pada masa Umar dituliskan dicetakan dirham.

Pada masa khalifah Usman bin ’Affan, dicetak dirham seperti model dirham khalifah Umar, dan dituliskan juga kota tempat pencetakan dan tanggalnya dengan huruf bahlawiyah. Cetakan khalifah Usman ini selanjutnya diikuti oleh khalifah Ali bin Abi Thalib.

3. Uang pada Masa Dinasti Islam

Mata uang yang bercorak benar-benar Islam barulah dibuat pada masa khalifah Abdullah Malik bin Marwan. Hal itu didasari pemikiran bahwa mata uang selain memiliki nilai ekonomi juga sebagai pernyataan kedaulatan dinasti Islam. Arabisasi mata uang juga merupakan bagian dari politik Arabisasi aparatur negara yang dilakukan khalifah Abdullah Malik.

Setelah mengalahkan Abdullah bin Zubair dan Mus’ab bin Zubair, beliau menyatukan tempat percetakan. Pada tahun 76H. dibuatlah mata uang Islam yang bernafaskan Islam dengan model Islam tersendiri, tidak ada lagi isyarat atau tanda Byzantium atau Persia. Dengan demikian Abdul Malik bin Marwan adalah orang yang pertama kali mencetak dinar dan dirham dalam model Islam tersendiri. Apa yang telah dilakukan Abdul Malik bin Marwan mampu merealisasikan stabilitas politik dan ekonomi, mengurangi pemalsuan dan manipulasi terhadap mata uang.

Advertisements

Pembuatan mata uang baik dinar maupun dirham dipantau secara ketat, pengetatan terus berlanjut pada masa Yazid bin Abdul Malik dan Hisyam bin Abdul Malik. Bahkan Hisyam pernah memeriksa dirham dan mengetahui ukurannya kurang dari satu butir, maka pembuatnya dihukum 1000 cambuk. Begitulah akhirnya Dinar masa Umawiyah terkenal halus, akurat, dan murni. Sebagai bukti kemajuan perkembangan uang. Orientalis A. Arthur mengatakan: ”bentuk sempurna dinar tidak hanya karena cukupnya bahan baku emas, tapi juga sebagai hasil dari kemampuan teknis atau bentuk progresif. Penempa- penempa muslim memiliki sarana tempat peleburan barang tambang yang mahal. Mereka mampu memisahkan emas dan perak menggunakan asam azotik dan membersihkan emas dan perak dari biji logam menggunakan air raksa (mercury)”.

Pada masa Abbasiyah, al-Saffah melakukan pencetakan dinar masih melanjutkan cara Dinasti Umayyah. Sedangkan dirham, pada awalnya ia kurangi satu butir, kemudian dua butir. Pada masa Abu Ja’far al-Manshur dikurangi tiga butir hingga pada masa Musa al-Hadi kurangnya mencapai satu karat. Hingga akhirnya pengurangan itu juga terjadi pada dinar. Namun begitu, nilainya dihitung seperti semula.

Dengan demikian, perkembangan uang pada masa ini dapat dibagi menjadi dua fase. Fase pertama, terjadi pengurangan terhadap ukuran dirham kemudian dinar. Fase kedua, ketika pemerintahan melemah dan para pembantu (mawali) dari orang-orang Turki ikut serta mencampuri urusan negara. Ketika itu pembiayaan semakin besar, orang-orang sudah menuju kemewahan sehingga uang tidak lagi mencukupi kebutuhan. Negara pun membutuhkan bahan baku tambahan, terjadilah kecurangan dalam pembuatan dirham dengan mencamprkannya dengan tembaga untuk memperoleh keuntungan dari margin nilai tertulis dengan nilai aktual.

Pada masa Salahuddin al-Ayyubi, bahan baku emas tidsk cukup untuk pencetakan dinar disebabkan berbagai peperangan. Karena itu, mata uang utama adalah perak dan tidak juga murni, bahkan separuhnya adalah tembaga. Hal ini terus berlanjut di Mesir dan Syam sepanjang pemerintahan Bani Ayyub.

Pada masa pemerintahan Mamalik, pencetakan uang tembaga (fulus) tersebar luas. Bahkan pada masa raja al-Zhahir Barquq dan anaknya Farj, uang tembaga menjadi mata uang utama dan pencetakan dirham dihentikan karena beberapa sebab berikut:

  1. penjualan perak ke negara-negara eropa
  2. impor tembaga dari negara-negara eropa yang semakin bertambah karena peningkatan produksi pertambangan di sebagian wilayah eropa
  3. meningkatnya konsumsi perak untuk pembuatan pelana dan 20

Bobot mata uang dirham dan dinar relatif stabil pada periode-periode awal pemerintahan Islam. Namun stabilitas ini tidak dapat berlangsung terus-menerus. Dua logam mulia itu menghadapi berbagai tekanan dari permintaan dan penawaran sehingga menimbulkan ketidakstabilan harga relatifnya. Rasio perbandingan harga relatif keduanya terus mengalami fluktuasi berkali-kali.

Fluktuasi ini tidak disebabkan penurunan nilai mata uang tetapi karena kemerosotan harga relatif perak terhadap emas.

Al-Maqrizi membahas masalah ini dalam kitabnya (Syudzur al-’Uqud fi Dzikri al-Nuqud) dan bisa dipahami dari paparannya beliau adalah orang pertama yang mengisyaratkan kepada hukum ekonomi ”uang yang jelek menyingkirkan uang yang baik” yang dikenal dengan hukum Gresham. Menisbatkan hukum ini kepada Grisman tidaklah tepat, karena al-Maqrizi yang wafat pada 1442 M lebih dahulu hidup dibadingkan Grishman yang wafat tahun 1579 M.

Namun uang tembaga tidak selamanya menjadi mata uang utama bahkan kembali pada fungsinya sebagai mata uang pembantu. Pencetakan dirham perak kembali karena banyaknya bahan baku perak. Gedung pencetakan Mamluk mendapatkan perak secara teratur dari pertambangan Terol, Siberia, dan Bosnia dari pedagang-pedagang senapan.

Pada masa dinasti Ottoman, sistem keuangan resmi Utsmaniyah sejak tahun 955H/1534M berdasarkan emas dan perak dengan perbandingan 1:15. Pada tahun 1839 M, pemerintahan Usmaniyah menerbitkan mata uang baru yang diberi nama Gaima dalam bentuk kertas-kertas banknote. Hanya saja nilainya terus merosot sehingga orang-orang tidak mempercayainya lagi.

Baca juga :

Pada tahun 1844M diberlakukan sistem keuangan baru. Pondasinya adalah perak dan koin-koin emas dari bilangan dinar. Kemudian kondisi ekonomi terus merosot. Ketika terjadi perang dunia I berkecamuk tahun 1914. Turki seperti negara lainnya mengumumkan pemberlakuan uang kertas dan membatalkan transaksi dengan emas dan perak. Sistem ini berlaku di seluruh negara Arab di bawah kekuasaan pemerintahan Usmaniyah.

Walaupun uang kertas sudah muncul di sebagian negara sebelumnya, tapi tidaklah sebagai mata uang terakhir, tidak diwajibkan menggunakannya dalam interaksi ekonomi sekalipun uang kertas itu ditopang dengan saldo emas dan biasa ditukar dengan uang-uang emas. Namun, selama mata uang perak dan emas berlaku, kenginan dan kepercayaan orang melebihi kepercayaan mereka terhadap kertas-kertas itu. Pada tahun 1914,uang kertas diseluruh dunia bersifat wajib, bukan lagi sebagai alternatif.

 

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 2 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

KPR (Kredit Pemilikan Rumah) : Pengertian, Jenis, Syarat dan Manfaatnya

1 Maret 2023 - 11:41

KPR (Kredit Pemilikan Rumah) : Pengertian, Jenis, Syarat dan Manfaatnya

Nisbah : Pengertian, Karakteristik, Jenis – Jenisnya dan Akadnya

18 Februari 2023 - 01:52

Pengertian Nisbah: Karakteristik, Jenis, dan Akadnya

Reksadana Syariah : Pengertian, Jenis, Karakteristik, dan Cara Investasinya

23 Desember 2022 - 13:30

Reksadana Syariah : Pengertian, Jenis, Karakteristik, dan Cara Investasinya
Trending di Ekonomi Syari'ah