Menu

Mode Gelap

Keislaman

DINAMIKA MU’TAZILAH PADA MASA ABBASIYAH


 DINAMIKA MU’TAZILAH PADA MASA ABBASIYAH Perbesar

DINAMIKA MU’TAZILAH PADA MASA ABBASIYAH

finaninsia – Perpecahan umat Islam tidak berhenti pada ranah pemikiran namun masuk pada ranah action, bukan hanya perbedaaan pendapat namun berbeda aliran.

Artikel ini mengulas tentang Aliran Mu’tazilah pada Masa Abbasiyah. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sejarah munculnya Aliran Mu’tazilah, tokoh-tokoh dan pemikirannya.

Jenis penelitian pada artikel ini menggunakan metode kepustakaan.Teknik pengumpulan datanya, dengan cara mencari informasi dari jurnal dan laporan-laporan penelitian.Sejarah aliran mu’tazilah muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik.

Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Mu’tazilah. Ada tiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan.

Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Mu’tazilah, yaitu almanzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.

PENDAHULUAN

Mu’tazilah merupakan salah satu aset kekayaan dalam hazanah pemikiran dunia Islam, khususnya dalam bidang teologi. Mereka telah banyak menyumbangkan jasanya dalam perkembangan dan kemajuan keintelektualan Islam dalam jangka panjang. Hal ini tidak dapat dipungkiri mengingat bahwa secara umum kaum Mu’tazilah adalah merupakan sosok muslim luar dalam.

Artinya bahwa mereka telah bekerja dengan sekuat tenaga berupya membenahi intern umat Islam dalam memerangi kebodohan dan kemajuan berpikir dan sebagai penolong dalam kemurnian tauhid.

Terhadap pengaruh dari luar mereka telah mampu menopang derasnya perkembangan filsafat, yang tidak mampu dibendung oleh kaum muslim orthodoks.

Mu’tazilah sebagai suatu aliran teologi yang telah memainkan peranannya yang cukup penting dalam perkembangan pemikiran Islam, karena aliran ini meletakkan akal sebagai superioritas manusia.

Menurutnya melalui akallah manusia akan mampu mengatasi dan memecahkan segala problema hidup dan kehidupannya. Akal memiliki kekuatan superior yang dapat digunakan untuk memahami alam semesta ini. Dengan meneliti alam semesta maka akal dapat sampai ke alam abstrak.

Al-Qur’an mengajarkan bahwa manusia dengan akalnya dapat meneliti fenomena alam untuk sampai pada rahasia-rahasia yang terletak dibelakangnya bahkan melalui akal pula maka seseorang akan dapat mengetahui adanya Tuhan, kewajiban mengetahui adanya Tuhan, mengetahui baik dan jahat, kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat. Dalam hadis juga ada banyak penjelasan yang mengagungkan akal pikiran tersebut.

Baca Juga : Peran Guru Dan Orang Tua Dalam Pendidikan Anak Di Sekolah Dasar

PEMBAHASAN

1. Sejarah Munculnya Aliran Mu’tazilah

Kaum Mu`tazilah merupakan sekelompok manusia yang pernah menggemparkan dunia Islam selama lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang menghebohkan, selama waktu itu pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan darah kaum muslimin terutama para ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan pedoman mereka.

Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik.

Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal yang lahir di Madinah tahun 700 M, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik.

Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Kemunculan mu’tazilah ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya.

Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Kemudian para petinggi mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun.

Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah.

Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri, Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri.

Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in.

Nama lengkap Hasan al-Basri adalah Hasan ibn Yasar al-Bashri lahir di Madinah pada tahun 21 H/642 M. Ayahnya bernama Yasar, seorang hamba sahaya dari Zaid ibn Tsabit yang dimerdekakan dan diangkat menjadi sekretarisnya. Sedangkan Ibunya bernama Khairah Maulat Ummu Salamah.

Abu Sa’id al-Hasan ibn Abi al-Hasan Yasar al-Basri, dikenal dengan sebutan al-Hasan al-Basri, lahir dua tahun sebelum berakhirnya masa kekhalifahan Umar ibn al-Khattab.

Asy-Syihristani berkata: Suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar.

Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar, dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan.

Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidakberpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji‟ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip dalam beragama.

Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha berseloroh: Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.

Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada muridmurid Hasan AlBashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata:“Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah.

Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq yakni keimanannya menjadi tidak sempurna.

Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri.

Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.

Al Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkutpautkan dengan peristiwa antara Washil dan Hasan Al Basri.

Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah bain almanzilatain).

2. Tokoh-tokoh dan Pemikiran Aliran Mu’tazilah

Di dalam aliran mu’tazilah ini terdapat tokoh-tokoh dan pemikirannya; Pertama, Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Mu’tazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifatsifat Tuhan.

Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu almanzilah bain almanzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.

Kedua, Abu Huzail al-Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan.

Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam. Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara.

Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini. Abu Huzail alAllaf adalah seorang filosof Islam.

Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat.

Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah zat-nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan KekuasaanNya dan Kekuasaan-Nya adalah zat-nya dan seterusnya.

Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan, berarti sifat-Nya itu kadim.

Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.

Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.

Ketiga, Al-Jubba’i adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal.

Mengenai sifat Allah SWT. ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifatNya.

Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wajibah aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melalui ajaranajaran yang dibawa para rasul dan nabi(wãjibah syar’iah).

Keempat, An-Nazzam: pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf.

Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hambaNya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim.

Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian.

Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran.Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb atau gaya bahasa dan balāgah (retorika)-Nya.

Advertisements

Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.

3. Mu’tazilah pada Masa Abbasiyah

Pada priode ini aliran Mu’tazilah mulai lebih berkembang dan menonjolkan diri, hal ini dikarenakan aliran Mu’tazilah ini menjadi juru kunci pemerintahan ketika mulai terjadinya penyeranganpenyerangan oleh orang-orang non Islam terhadap Islam, sehingga aliran ini menjadi aliran terkemuka dan imbasnya banyak para tokoh Mu’tazilah yang terkenal.

Meskipun filsafat tidak menjadi tujuan utama dari Mu’tazilah, melainkan sebagai alat untuk menolak serangan-serangan lawannya. Namun dengan adanya filsafat itu mereka serta merta memasuki fase baru dalam sejarah mereka.

Karena filsafat telah menimbulkan revolusi pikiran yang penting bagi kehidupan mereka. Setelah mereka mengenal persoalanpersoalannya dan memperdalamnya, maka mereka mencintai filsafat karena filsafat itu sendiri.

Dengan filsafat sebagai media saja akhirnya lambat laun aliran ini lebih banyak menggunakan filsafat dalam pemikiranpemikirannya, sehingga mereka akrab disebut sebagi kaum rasionalis Islam, yaitu aliran yang menggunakan akal pikiran (filsafat).

Pada priode khalifah kedua (Abu Ja’far al Mansur) aliran Mu’tazilah mulai lebih menonjolkan diri; hal ini dikarenakan Al Mansur sendiri adalah seorang yang cinta ilmu pengetahuan dan suka menggunakan akal pikirannya.

Selain hal tersebut juga dikarenakan salah seorang pemuka Mu’tazilah yaitu Amr Ibnu Ubaid adalah seorang teman dekat Abu Ja’far Al Mansur sebelum beliau menjadi khalifah, sehingga Mu’tazilah dapat memiliki kebebasan dan leluasa dalam mengembangkan ajaran-ajarannya. Pada masa kekhalifahan selanjutnya, aliran Mu’tazilah tidak begitu berkembang bahkan terkesan redup.

Akan tetapi pada masa kekhalifahan Harun al Rasyid (179 – 193 H), yaitu khalifah kelima dari bani Abbasyiah, aliran Mu’tazilah mulai bangkit kembali. Bahkan peranan Mu’tazilah pada masa Harun Al Rasyid terangkat karena banyak diantara mereka yang menjadi penasihat dan pendidik putraputri khalifah.

hal ini menunjukkan bahwa aliran Mu’tazilah mulai mengadakan pendekatan-pendekatan kepada penguasa saat itu. Kemajuan Mu’tazilah semakin berkembang pesat pada masa Al Ma’mun (198 – 219).

Sebelas Beliau adalah seorang intelektual yang cerdas, pintar dan cinta kepada ilmu pengetahuan. Beliau memilih aliran Mu’tazilah yang rasional dan liberal. Corak pemikiran Mu’tazilah aliran Baghdad lebih banyak berorientasi kepada masalah praktis karena lebih dekat dengan penguasa.

Aliran Mu’tazilah pada priode ini disebut aliran Baghdad; hal ini dikarenakan washil bin Atha’ pernah mengutus muridnya yang bernama Bisyir al Mu’tamar untuk menjadi pemimpin Mu’tazilah di Bashrah.

Selain hal tersebut, Al Ma’mun memindahkan ibu kota dari Al Hasyimiah yang didirikan di dekat kota Kuffah ke Baghdad, sehingga dengan demikian secara otomatis kota Baghdad menjadi jantung kota dan pusat segala kegiatan masyarakatnya. Terutama sebagai pusat peradaban baik dalam bidang seni, politik, agama dan ilmu pengetahuan

Dengan menjadinya al Ma’mun sebagai penganut Mu’tazilah, maka hal ini sangat menguntungkan bagi aliran Mu’tazilah itu sendiri karena dengan demikian secara langsung Mu’tazilah memiliki prioritas utama.

Bahkan kedudukan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara. Kemudian al Ma’mun mulai mengadakan majlis-majlis besar untuk membahas ilmu-ilmu pengetahuan dari aliran Mu’tazilah. Bahkan beliau menjadikan istana negaranya untuk menjadi tempattempat pertemuan ahli pikir dari semua aliran yang ada.

Bahkan dalam mengekspresikan kefanatikannya terhadap Mu’tazilah sebagai aliran yang dianutnya, beliau menggunakan kekuasaannya untuk memaksa rakyat untuk mengikuti aliran kepercayaan yang dianutnya tersebut yang puncaknya dengan melakukan Mihnah. Hal ini adalah atas usul pemuka Mu’tazilah Ahmad Abi Duad kepada khalifah al Ma’mun dan al Ma’mun pun menyetujuinya

Apresiasi Ekonomi : Pengertian, Penyebab, dampak dan Perbedaanya dengan Depresiasi

4. Mihnah Dari Masa ke Masa

Kata Mihnah berasal dari kata bahasa Arab yang artinya mencobai, menguji. Mihnah dari masa ke masa. Sedangkan Mihnah dalam konteks aliran Mu’tazilah adalah pengujian keyakinan terhadap para ahli fiqh dan ahli Hadits tentang kemakhlukan Al Qur’an, serta sangsi hukum yang harus mereka terima sehubungan dengan keyakinan mereka tersebut.

Mihnah terjadi pada tahun 218 H, yang dilatar belakangi dengan pendapat Mu’tazilah bahwa Al Qur’an itu adalah makhluk atau ciptaan.

Sebagai dikatakan diatas, bahwa kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Al Qur’an yang dalam istilah teologi disebut dengan kalam Allah, bukan qadim atau kekal, akan tetapi hadits dalam artian baharu dan diciptakan Tuhan.

An Nazzam memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan kalam atau sabda Tuhan. Kalam adalah suara yang tersusun dari hurufhuruf dan dapat didengar.

Suara bersifat baharu bukan bersifat kekal dan adalah ciptaan Tuhan. Inilah yang dimaksud kaum Mu’tazilah dengan Al Qur’an adalah diciptakan dan bukan kekal (qadim).

Pada masa itu sebenarnya faham yang berkembang tentang Al Qur’an adalah bahwa Al Qur’an itu adalah qadim dan yang qadim itu adalah sifat Allah Swt dan tidak ada yang qadim selain Allah Swt.

Sedangkan Mu’tazilah berpendapat bahwa jika demikian maka yang qadim itu lebih dari satu dan ini bertentangan dengan ajaran tauhid yaitu meng-Esakan Tuhan.

Dan ini merupakan suatu hal yang serius bagi mereka , sehingga mereka menyatakan bahwa siapa yang menyatakan bahwa Al Qur’an itu adalah qadim maka dia adalah syirik, dan dosa syirik tidak diampuni Allah Swt. Keyakinan Mu’tazilah ini mendapat sokongan dari khalifah al Ma’mun, sebagai penguasa saat itu.

Beliau menyatakan bahwa Faham Al Qur’an adalah makhluk ini adalah masalah tauhid yang bersangkutan dengan akidah, sehingga baliau merasa sebagai khalifah harus mengingatkan dan mengembalikan rakyatnya untuk mengikuti faham Mu’tazilah yang dianutnya tersebut.

Dan caranya adalah dengan melakukan Mihnah. Pertama-tamanya yang beliau lakukan adalah mengumumkan kepada seluruh umat muslim tentang faham bahwa Al Qur’an itu adalah makhluk dan mengumumkannya secara resmi, barulah mihnah dilaksanakan.

Kemudian beliau mulai melakukan mihnah atau pengujian kepada para hakim, saksi, ahli fiqih dan ahli hadits serta para tokoh masyarakat lainnya.

Dengan maksud bahwa mereka adalah para tokoh yang dihormati dan dipercayai oleh masyarakat, sehingga penyebaran faham Mu’tazilah tersebut dapat dengan mudah terlaksana dan tersebar.

Dan selain hal tersebut, al Ma’mun menginginkan agar para pejabatnya yang duduk dalam kursi pemerintahannya tidak berpaham syirik, yaitu menduakan Tuhan dalam pandangan Mu’tazilah yang dianutnya tersebut. Kemudian al Ma’mun mulai mengadakan mihnah ke wilayah-wilayah lainnya dengan melakukannya secara langsung maupun dengan mengirim surat.

Salah satunya adalah surat kepada gubernur Irak Ishak Ibnu Ibrahim, agar melaksanakan mihnah. Dan apabila ada yang membangkang maka ia akan diturunkan dari jabatannya bahkan dihukum.

Walaupun demikian banyak dari mereka yang menentang faham Mu’tazilah bahwa al Qur’an adalah mahluk. Salah satunya adalah Ahmad Ibnu Hambal, salah seorang intelektual (ahli fiqih) terkemuka Baghdad, yang memiliki pengaruh yang cukup besar. Ia tetap teguh berpendapat bahwa Al Qur’an itu adalah qadim. Hal ini kemudian dilaporkan oleh Ishak kepada al Ma’mun. al Ma’mun sangat marah dan mengancam akan memberikan hukuman mati bagi yang menentangnya.

Ahmad Ibnu Hambal dan Muhammad Ibnu Nuh (salah seorang penentangnya juga) dikirim kepada al Ma’mun untuk menerima hukuman, akan tetapi baru separuh perjalanan al Ma’mun meninggal dunia, sehingga merekapun terbebaskan. Sebelum meninggal dunia al Ma’mun menulis surat wasiat kepada penggantinya yaitu Abu Ishak Muhammad al Mu’tashim, agar tetap terus melaksanakan mihnah.

Al Mu’tashim sendiri dibesarkan dalam suasana ketentaraan, sehingga beliau lebih menyenangi kemiliteran dari pada ilmu pengetahuan, sehingga Mu’tazilah tidak lagi mendapat prioritas yang utama. Mihnah sendiri tetap dilaksakan, hanya saja sebatas pemenuhan surat wasiat. Akan tetapi bagi yang membangkang ia akan diberi hukuman tegas.

Dalam pelaksanaan wasiat ini al Mu’tashim melakukan mihnah dengan lebih kejam kepada para ulama. Bahkan sebagian ada yang dibunuh. Ahmad Ibnu Hambal dicambuk dan dipenjarakan karena faham khalq Al
Qur’an dan ia menerimanya dengan tabah.

Pada tahun 227 H al Mu’tashim meninggal dunia dan digantikan oleh Abu Ja’far Harun al Watsiq. Pada priode ini mihnh tetap dilaksanakan, bahkan ia sendiri yang membunuh pembangkang yang menolak mihnah.

Kemudian ia meninggal dunia. Khaliafah selanjutnya adalah Abu Ja’far Al Mutawakkil (232-247 H). Al Mutawakkil sendiri bukanlah penganut Mu’tazilah, sehingga pada masanya, mihnah hanya berlangsung 2 tahun saja.

Kemudian ia menurunkan aliran ini dari mazhab resmi Negara, rasionalisme dilarang. Dia membebaskan Ahmad Ibnu Hambal. Kemudian dia mulai m,engendalikan dan selanjutnya menindas para cendekiawan Mu’tazilah.

Tindakan Al Mutawakkil ini sangat merugikan aliran Mu’tazilah. Dan keadaan menjadi terbalik dimana para cendekiawan aliran ini ditindas, yang mana dahulu merekalah yang menindas para pembangkang yang tak sepaham dengan mereka.

Walaupun aliran ini menjadi redup, akan tetapi Mu’tazilah tetap eksis dianut oleh para penganutnya secara tersembunyi dan orang perorangan, bahkan kemudian bermunculan pula para tokohtokoh terkemuka yang menganutnya.

KESIMPULAN

Mu’tazilah sebagai suatu aliran teologi yang telah memainkan peranannya yang cukup penting dalam perkembangan pemikiran Islam, karena aliran ini meletakkan akal sebagai superioritas manusia.

Menurutnya melalui akal manusia akan mampu mengatasi dan memecahkan segala problema hidup dan kehidupannya. Akal memiliki kekuatan superior yang dapat digunakan untuk memahami alam semesta ini. Dengan meneliti alam semesta maka akal dapat sampai ke alam abstrak.

Al-Qur’an mengajarkan bahwa manusia dengan akalnya dapat meneliti fenomena alam untuk sampai pada rahasia-rahasia yang terletak dibelakangnya bahkan melalui akal pula maka seseorang akan dapat mengetahui adanya Tuhan, kewajiban mengetahui adanya Tuhan, mengetahui baik dan jahat, kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat. Dalam hadis juga ada banyak penjelasan yang mengagungkan akal pikiran tersebut.

Sejarah munculnya aliran Mu‟tazilah muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik.

Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha‟ Al-Makhzumi Al-Ghozzal yang lahir di Madinah tahun 700 M, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha‟ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik.

Imam Hasan alBashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Adapun tokoh-tokoh aliran mu’tazilah yaitu Wasil bin Atha, Abu Huzail al-Allah, Al-Jubba’i, An-Nazzam.

Pada priode khalifah kedua (Abu Ja’far al Mansur) aliran Mu’tazilah mulai lebih menonjolkan diri; hal ini dikarenakan Al Mansur sendiri adalah seorang yang cinta ilmu pengetahuan dan suka menggunakan akal pikirannya.

Selain hal tersebut juga dikarenakan salah seorang pemuka Mu’tazilah yaitu Amr Ibnu Ubaid adalah seorang teman dekat Abu Ja’far Al Mansur sebelum beliau menjadi khalifah, sehingga Mu’tazilah dapat memiliki kebebasan dan leluasa dalam mengembangkan ajaran-ajarannya.

Pada masa kekhalifahan selanjutnya, aliran Mu’tazilah tidak begitu berkembang bahkan terkesan redup. Akan tetapi pada masa kekhalifahan Harun al Rasyid (179 – 193 H), yaitu khalifah kelima dari bani Abbasyiah, aliran Mu’tazilah mulai bangkit kembali.

Bahkan peranan Mu’tazilah pada masa Harun Al Rasyid terangkat karena banyak diantara mereka yang menjadi penasihat dan pendidik putra-putri khalifah hal ini menunjukkan bahwa aliran Mu’tazilah mulai mengadakan pendekatan-pendekatan kepada penguasa saat itu.

Oleh : Wahyu Restu Sukmawati

 

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Sejarah Perkembangan Tasawuf, Abad Ketiga, Keempat, Kelima, Keenam, Ketujuh, Kontemporer

17 April 2023 - 03:07

Sejarah Perkembangan Tasawuf, Abad Ketiga, Keempat, Kelima, Keenam, Ketujuh, Kontemporer

Mengapa Beriman Kepada malaikat Allah Mendorong Kita Gemar Bersedekah

12 April 2023 - 00:55

Mengapa Beriman Kepada malaikat Mendorong Kita Gemar Bersedekah

Beriman Kepada Allah: Pengertian, Dalil-Dalilnya, Ciri-Ciri Beriman

7 April 2023 - 15:44

Beriman Kepada Allah: Pengertian, Dalil-Dalilnya, Ciri-Ciri Beriman

Aqidah : Pengertian, Sumber – Sumber dan Hukum Mempelajarinya

7 April 2023 - 15:00

Aqidah : Penegrtian, Sumber-Sumber dan Hukum Mempelajarinya

Tanda – Tanda Isim, Tanda Fiil, Tanda Huruf dan contohnya

5 April 2023 - 00:44

Tanda Isim, Tanda Fiil, Tanda Huruf dan contohnya

Pengertian Kalam, Pembagian Kalam, Contoh Kalam

4 April 2023 - 21:54

Pengertian Kalam dan Pembagian, Contoh Kalam
Trending di Keislaman